Warga Aborigin di Victoria, Australia Membentuk Lembaga Untuk Kedaulatan

Warga Aborigin di Victoria, Australia Membentuk Lembaga Untuk Kedaulatan – Peristiwa yang bersejarah terjadi di gedung Parlemen Negara Bagian Victoria Australia pekan ini. Untuk pertama kalinya, sebanyak 30 orang wakil rakyat Aborigin bertemu dan menuntut kedaulatan penduduk pertama di Australia.

Majelis Pewakilan Penduduk Pertama (First Peoples’ Assembly) terdiri atas 32 kursi dari suku-suku Aborigin di Victoria, dan dibentuk untuk mencapai perjanjian atau treaty dengan Pemerintah Victoria.

Salah satu anggotanya yaitu Jordan Edwards yang mewakili suku Wathaurong, Gunditjmara, dan Arrernte, yang masih berusia 21 tahun.

Saat berdiri di ruang sidang Parlemen Victoria dan menyampaikan pidato perdananya, Jordan mengaku adanya perasaan campur-aduk di kalangan masyarakat Aborigin mengenai pertemuan Majelis ini https://www.queenaantwerp.com/

Warga Aborigin di Victoria, Australia Membentuk Lembaga Untuk Kedaulatan

“Seluruh rakyat kami sejak jaman penjajahan telah menuntut adanya perjanjian atau treaty. Sekarang kesempatan itu akhirnya tiba,” ujarnya.

“Tapi saya merasakan ada yang sedikit mengganggu, karena pertemuan sebesar ini seharusnya dilakukan di kampung di luar sana,” kata Jordan.

“Saya paham perlunya kita mengambil kembali tempat ini. Saya berharap proses ini akan membawa perubahan bagi rakyat kita. Tapi semua itu bisa kita raih jika kita singkirkan ego dan agenda sendiri,” katanya.

“Kita bukan pemerintah, kami tidak perlu bertindak seperti mereka. Kita harus menempatkan pengetahuan dan budaya kita setara di depan para penjajah kita,” kata Jordan disambut tepukan gemuruh dari anggota Majelis lainnya.

Ketua sementara Majelis itu, Eleanor Bourke dari suku Wergaia, mendesak para anggota Majelis untuk membantu Komisi Treaty Victoria dengan melibatkan lebih banyak orang Aborigin.

“Saya mengingatkan saudara-saudara bertanggung jawab terhadap para pemilih Aborigin dan agar merawatnya dengan baik,” katanya.

Eleanor Bourke juga mendesak para anggota Majelis untuk fokus bekerjasama membangun konsensus.

“Tidak masalah jika ada perbedaan pendapat. Kita harus saling memperlakukan satu sama lain dengan baik,” katanya.

“Jangan sampai Anda membuat ruangan ini tidak nyaman. Jangan sampai kita takut atau berpikir negatif, karena sekarang perjuangan kita mengambil pijakan berbeda,” tambahnya.

Anggota Majelis lainnya Sissy Austin dari suku Gunditjmara mengakui adanya beban sejarah yang diletakkan di pundaknya saat dia bersiap memasuki gedung parlemen.

“Sudah bertahun-tahun lamanya rakyat kami berjuang di jalanan. Rasanya berbeda sekali karena kami sekarang bisa masuk ke gedung ini dan bukan hanya memprotes di luar,” katanya.

Sissy mengaku akan mengikuti petunjuk dari komunitasnya, tapi dia melihat isu pemulihan Generasi yang Dicuri harus masuk treaty.

Selain itu, katanya, penjualan tanah negara harus segera dihentikan agar tersedia lahan yang bisa diklaim kembali oleh pemilik tradisional.

Anggota Majelis dari suku Yorta Yorta dan Dja Dja Wurrung, Muriel Bamblett, menyatakan sudah tidak tahan lagi melihat banyaknya wanita Aborigin yang mengalami KDRT.

“Ini bukan soal perampasan tanah, tapi tentang hak-hak kita sebagai Penduduk Pertama di negara ini,” katanya.

Ada benang merah dalam pidato perdana yang disampaikan para anggota Majelis. Yaitu, adanya keinginan untuk mengatasi perselisihan di antara mereka.

Dua dari 32 kursi Majelis tetap kosong pada hari pembukaan masa persidangan. Pasalnya, wakil dari suku Yorta Yorta bersikukuh menolak kursi yang disediakan untuk mereka.

Pada Juni lalu, suku tersebut menyatakan partisipasi dalam Majelis hanya akan “melemahkan bangsa dan rakyat Yorta Yorta yang berdaulat”.

Satu kursi Majelis lainnya juga tidak diisi oleh Jason Kelly dari komunitas Aborigin di wilayah barat daya Victoria dengan alasan parlemen itu “tak aman secara budaya”.

Di akhir persidangan Majelis, para anggota sepakat memilih Marcus Stewart dari suku Taungurung dan Geraldine Atkinson dari suku Bangerang sebagai pimpinan Majelis.

Lembaga perwakilan rakyat Aborigin ini akan memulai tugas utamanya membentuk kerangka kerja negosiasi dan pengawasan treaty.

Jika treaty itu terjadi, maka Victoria akan menjadi negara bagian pertama di Australia yang berhasil melakukannya.

Selain Victoria, Negara Bagian Queensland dan Australia Utara saat ini juga memulai tahapan untuk mewujudkan treaty dengan penduduk Aborigin di wilayahnya masing-masing.

Agar Aborigin Tak Lagi Jadi Liyan

Lidia Thorpe, mantan anggota parlemen Victoria (2017-2018), sekaligus perempuan Aborigin pertama yang memegang posisi tersebut, berorasi dalam pelaksanaan Invasion Day 2019.

Warga Aborigin di Victoria, Australia Membentuk Lembaga Untuk Kedaulatan

“Negeri ini (Australia) rehat sejenak untuk festival balapan kuda, final Australian Football League (AFL), ulang tahun Ratu Elizabeth, dan peringatan Australian and New Zealand Army Corps (ANZAC) Day. Namun kita tidak pernah memiliki waktu untuk sejenak merenungkan apa yang dirasakan orang pertama di negeri ini, dan penderitaan yang mereka alami akibat kolonisasi!”

Untuk Shan Windscript, mahasiswi doktoral sejarah di University of Melbourne, keikutsertaannya dalam Invasion Day 2019 merupakan wujud solidaritas kepada orang-orang Aborigin yang telah mengalami penindasan selama ratusan tahun. “Sekalipun kecil, ini adalah kontribusi saya untuk mengatakan ‘tidak’ atas imperialisme dan kolonialisme yang masih dialami penduduk Aborigin dan Torres Strait Islander!” ujarnya kepada saya lewat pesan singkat.

Dia pun berharap agar Australia Day dihapus dan pemerintah Australia mau mengakui ketidakadilan yang telah mereka perbuat terhadap kaum Aborigin, ketimbang menutup-nutupinya. “Semoga gerakan ini juga dapat menginspirasi kaum-kaum tertindas di negara lain untuk berani bergerak melawan fasisme dan rasisme.”

Sementara, Jimmy Yan, juga mahasiswa doktoral sejarah University of Melbourne, mengungkapkan tujuan utama demonstrasi ini bukan sekadar pengakuan konstitusional bagi orang-orang Aborigin, tapi juga dekolonisasi di segala lini. Pada konteks Australia, dekolonisasi itu bisa berwujud tidak lagi memosisikan kaum Aborigin sebagai kelompok liyan. “Demonstrasi ini pun menjadi momentum politik bagi orang-orang Aborigin dan Torres Strait Islander, untuk kelak dapat menentukan nasibnya sendiri,” tuturnya melalui pesan singkat.

Beberapa kota di negara Australia tak tinggal diam terkait aksi tersebut. Saat tahun 2016, Kota Fremantle di Western Australia memutuskan untuk memotong tradisi tahunan Australia Day dan sebagai gantinya mengadakan pawai kebudayaan selang dua hari kemudian. Sementara itu, beberapa wilayah di Victoria, seperti Moreland, Darebin, dan Yarra mengusulkan untuk mengubah tanggal perayaan. Tindakan serupa juga dilakukan pemerintah Kota Hobart di Tasmania.

Tetapi, mengingat Australia tidak pernah mengalami revolusi atau kemerdekaan dari kolonialisme, pemerintah seperti kesulitan mencari tanggal alternatif untuk perayaan Australia Day. Perubahan signifikan pun masih jauh panggang dari api. Para Demonstrasi Invasion Day nampaknya akan tetap menjadi agenda tahunan hingga beberapa tahun ke depan.

Seperti apakah fakta dari suku Aborigin ini?

1. Suku Aborigin memiliki jiwa seni yang tinggi

Diketahui sebagai suku yang memiliki jiwa seni yang tinggi. Pada dahulu kala, suku Aborigin suka membuat lukisan pada dinding gua ataupun kulit binatang. Tak hanya itu, suku Aborigin juga suka membuat karya seni pahat. Saat ini telah terdapat museum seni suku Aborigin yang dapat kamu kunjungi di Australia.

2. Bahasa suku Aborigin hampir punah

Australia merupakan sebuah negara sekaligus juga sebuah benua yang berdekatan dengan Indonesia. Banyak orang mengenal Australia sebagai Negara Kanguru. Bahasa resmi dari Australia yaitu bahasa Inggris. Jumlah penduduk Australia saat ini berjumlah 25.392.900 jiwa.

Sebelum kedatangan bangsa Eropa, terdapat penduduk asli Australia yaitu suku Aborigin. Kata “Aborigin” sendiri berasal dari bahasa Inggris yang berarti penduduk asli. Suku Aborigin dipercayai telah mendiami Australia selama 70 ribu tahun lalu. Suku Aborigin pun mempunyai beberapa fakta yang menarik untuk dibahas. Seperti apakah fakta dari suku Aborigin ini?

3. Mayoritas orang Aborigin beragama Kristen

Sejalan perkembangan zaman, mayoritas orang Aborigin menganut agama Kristen. Menurut dari data sensus, terdapat 73% orang Aborigin yang menganut agama Kristen. Kemudian sekitar 24% tidak menganut agama apapun. Sisanya mereka masih menganut agama tradisional yang masih mempercayai adanya Roh Agung yang mengatur kehidupan di Bumi.

4. Uluru adalah batu yang keramat bagi suku Aborigin

Uluru atau biasa disebut Ayers Rock adalah batu berukuran besar yang dikeramatkan oleh suku Aborigin. Mereka percaya bahwa asal muasal kehidupan ini berawal dari Uluru. Sehingga orang Aborigin sangat menjaga kelestarian dari Uluru ini. Tapi sangat disayangkan masih banyak turis yang masih mendaki Uluru dan tidak menjaga kelestariannya. Maka dari itu akan terdapat larangan bagi para turis untuk mendaki batu Uluru ke depannya.

5. Suku Aborigin Mardudjara melakukan tradisi potong alat kelamin pria

Laki-laki yang sudah beranjak dewasa akan melakukan proses sunat dengan tujuan syariat agama ataupun kesehatan. Proses sunat juga dilakukan oleh suku Aborigin Mardudjara. Namun yang membedakannya ialah suku Aborigin Mardudjara memotong habis alat kelamin pria. Hal ini bertujuan sebagai proses pendewasaan bagi laki-laki.

Share