Menjajaki Kehidupan Masyarakat Xinjiang di Museum Etnik

Menjajaki Kehidupan Masyarakat Xinjiang di Museum Etnik

Menjajaki Kehidupan Masyarakat Xinjiang di Museum Etnik – Bagaikan melintasi lorong waktu, itulah yang mungkin akan dirasakan para pengunjung ketika bertandang ke Museum Xinjiang di Kota Urumqi yang berisi koleksi relik dan artefak tentang sejarah provinsi China di barat jauh tersebut.

Dengan total koleksi yang berjumlah 40.000 buah (bervariasi mulai dari artefak, relik hingga spesimen), museum yang berembrio sejak tahun 1959 itu, menyajikan para pengunjung mengenai sejarah ‘Wilayah Barat China kuno’ hingga bagaimana area itu menjadi ‘Provinsi Xinjiang’ dewasa ini. idnplay

Menjajaki Kehidupan Masyarakat Xinjiang di Museum Etnik

Xinjiang kuno, atau yang dikenal sebagai wilayah Barat, merupakan bagian dari Jalur Sutra masa lampau. Wilayah itu telah menjadi titik berkumpul dan bercampurnya berbagai kelompok etnis. judi bola

Menurut dari berbagai penemuan arkeologis yang tersaji di museum, tanda-tanda peradaban manusia pertama di Xinjiang ada pada masa Paleolitik sekitr 50.000 tahun yang lalu https://americandreamdrivein.com/

Mewah, megah dan rapi. Tiga kata tersebut menggambarkan museum etnik Xinjiang yang ada di pusat kota Urumqi.

Pada suatu ketika berbagai awak media dari puluhan negara lainnya berkesempatan untuk mengunjungi bangunan modern dan bersejarah itu.

Wilayah Barat kuno mulanya hanya dihuni oleh suku-suku lokal. Akantetapi kemudian, mereka bercampur dengan etnis dari Asia Barat, Eropa Tengah dan Asia Timur yang melintasi area itu ketika jalur sutra kuno dibuka oleh Dinasti Han.

Dinasti kemudian mengkooptasi Wilayah Barat sepenuhnya dengan mendirikan Kantor Militer Wilayah Barat yang dikepalai oleh seorang jenderal, yang sekaligus menjadi perpanjangan tangan kaisar untuk memimpin area tersebut.

“Percampuran berbagai kelompok etnis, posisinya sebagai hub penting jalur sutra kuno, dan kontribusi Dinasti Han, menjadikan Wilayah Barat sebagai bagian penting dalam perkembangan kebudayaan dan peradaban China,” kata seorang pemandu museum melalui penerjemah kepada sejumlah wartawan Indonesia, Jumat 22 Februari 2019.

Sesudah melalui gejolak domestik dan invasi Bangsa Mongol, Dinasti Qing berhasil meredam berbagai gejolak di wilayah itu, hingga akhirnya pada 1884, kekaisaran mendirikan Provinsi Xinjiang –cyang nantinya adalah cikal bakal dari Wilayah Otonomi Xinjiang-Uighur dewasa ini.

Museum itu terdiri dari 4 lantai.  Bangunannya tak seperti museum pada umumnya. Anda yang tinggal di Indonesia mungkin jika ditanya apa kesanmu terhadap museum maka Anda akan menjawab: bangunan tua, barang-barang antik dan bukan kawasan yang tepat untuk tempat nongkrong anak muda.

Tapi di Urumqi berbeda. Di hari libur tengah hari itu ternyata banyak muda-mudi yang mengunjungi museum itu.  Bahkan tak sedikit di antara mereka yang berpasangan.

Anak-anak pun demikian. Banyak anak-anak seumur 8-12 tahun yang berbondong-bondong menuju museum itu.  Ada yang sekadar jalan-jalan,  ada yang mengggambar sesuatu dan ada yang sekadar hanya berlarian sambil tertawa

Museum ini ibarat Taman Mini Indonesia Indah (TMII)-nya Indonesia. Kita bisa melihat kehidupan masyarakat Xinjiang yang multietnis lewat museum ini.

Seperti yang dijelaskan dalam artikel-artikel sebelumnya,  di Xinjiang ada beberapa etnis yang hidup: Uighur,  China,  Kazakh dan Mongolia. Kehidupan mereka secara lengkap tersaji di sini.

Di lantai pertama kita akan melihat bagaimana masyarakat Uighur salah satu bagian terbesar kelompok etnis di Xinjiang hidup. Selama berkeliling rombongan disuguhkan dengan beragam alat kehidupan sehari-hari yang biasa mereka gunakan seperti: pakaian,  alat rumah tangga,  topi dan sebagainya.

Ada juga ditampilkan replika makanan khas dan diorama tentang kehidupan mereka sehari-hari.  Tak ketinggalan ada patung-patung lilin yang dibuat sangat mirip untuk menggambarkan budaya mereka. 

Ditampilkan pula bagaimana mereka menjalani budaya lokal dari mulai perayaan pernikahan,  kelahiran hingga kematian. Di antara salah satu budayanya adalah saat menyambut kelahiran seorang anak. 

Untuk masyarakat Uighur,  layaknya di Indonesia,  mereka punya upacara untuk kelahiran jabang bayi. Ada juga tradisi potong rambut ketika usia bayi menginjak 7 bulan. Semua tergambar dalam patung lilin di museum tersebut.

Berikutnya, kami menuju spot kehidupan masyarakat Kazakh. Di sana, dari patung lilin yang ditampilkan,  kita bisa melihat pekerjaan utama mereka yakni bertani dan berternak.

Lain lagi dengan masyarakat etnis Mongol. Pakaian-pakaian yang mereka kenakan sehari-hari adalah layaknya pakaian khas China, lengkap dengan topi khasnya.

Ada juga tradisi ‘perang’ di etnis Mongol layaknya gladiator di Yunani sana. Semua tergambar dari patung lilin yang betul-betul mirip aslinya.

Soal kehidupan Kazakh juga tergambar jelas di sini.  Mereka yang hidup dekat Tibet ini kebanyakan berprofesi petani.

Wajah laki-laki dan perempuan di patung lilin digambarkan mancung-mancung serta berkulit putih. Ada juga di antara mereka yang berternak sapi ataupun domba.

Dari museum ini kita belajar kehidupan di Xinjiang yang megah namun tetap khas. Pemandu mengatakan pemerintah setempat sangat serius dalam melakukan perawatan di museum ini.

“Mereka pun dengan rutin memberikan dana dan barang-barang di sini semuanya tak ada yang rusak. ” Ya begitulah Museum etnik di Xinjiang.

Asal Muasal Uighur di Xinjiang :

Menjajaki Kehidupan Masyarakat Xinjiang di Museum Etnik

Riwayat mengenai Uighur modern di Xinjiang bisa tercatat sejak tahun 630 – 684 masehi, saat sebuah catatan Dinasti Tang menuliskan kata “Huihe” yang merujuk pada sekelompok suku yang tinggal di basin Tarim di Wilayah Barat (Xinjiang dewasa ini).

Museum Xinjiang merujuk catatan itu sebagai cikal-bakal etnis Uighur modern –menggambarkan mereka sebagai kelompok endemik dan bagian dari perkembangan peradaban dan kebudayaan China.

Akantetapi, asal muasal kelompok yang menetap di basin Tarim itu masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan dan arkeolog. Sejumlah catatan menunjukkan bahwa kelompok itu adalah etnis Turki yang bermigrasi dan menetap di basin Tarim. Sementara catatan lain menunjukkan mereka berasal dari Mongolia atau Eropa Tengah.

Beberapa uji DNA juga menunjukkan bahwa nenek moyang Uighur memiliki gen campuran Asia Timur dan Kaukakus.

Penyebutan Huihe untuk orang-orang yang menetap di Wilayah Barat pun sempat hilang hingga kemunculannya kembali pada Abad ke-19 dalam catatan Uni Soviet. Catatan itu menyebut tentang “Uyghur Khaganate” (kekaisaran Uighur), yang merupakan konfederasi suku-suku Turk (orang Turki) yang mendiami wilayah Asia Tengah bagian utara.

Namun, dalam penggunaan modern-nya, penyebutan “Uyghur” yang digunakan pada catatan Soviet itu merujuk pada ‘orang-orang Turki’ yang mendiami Provinsi Xinjiang yang didirikan pada era Dinasti Qing.

Definisi itu kemudian diakui oleh Uighur sendiri sebagai identitas etnisitas mereka dalam sebuh konferensi di Tashkent pada 1921 yang dihadiri oleh ‘orang-orang Turki’ di basin Tarim (Xinjiang) — demikian seperti dikutip dari ‘Situating the Uyghurs between China and Central Asia’ yang ditulis oleh associate professor Ildiko Beller-Hann.

Berikut Merupakan Komentar Resmi China Soal Kontroversi Muslim Uighur :

China mempertegas bahwa permasalahan di Xinjiang bukan soal agama melainkan separatisme. Pendapat dari Duta Besar China untuk Indonesia Xiao Qian, pemerintah murni memerangi aksi radikalisme dan terorisme.

Hal ini dikatakan saat menemui Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Ia meluruskan pemberitaan soal dugaan persekusi dan diskriminasi etnis Muslim Uighur yang dituding sebagian pihak ke negara panda itu.

Beliau bahkan mempersilakan masyarakat Indonesia untuk melihat langsung kondisi muslim di Uighur China. “Silakan jika ingin berkunjung, beribadah, dan bertemu dengan masyarakat muslim Uighur,” katanya sebagaimana dikutip dari keterangan pers tersebut.

Share