Turkish Tea: Sebuah Simbol Pertemanan dari Masyarakat Turki

Turkish Tea: Sebuah Simbol Pertemanan dari Masyarakat Turki – Turki adalah negara yang terkenal dengan sebutan negara 2 benuanya. Sebab di negara tersebut beberapa kota terletak di Benua Eropa dan sebagiannya terletak di Benua Asia. Dikarenakan faktor geografis tersebut, pastinya memengaruhi pola tingkah laku dan budaya masyarakat setempat.

Populasi negara Turki terdiri dari berbagai etnis Turki, Armenia, Yunani, Yahudi, Kurdi, Circassians, Albania, Bosnia, Georgia yang mencerminkan seperti apa negara Turki. Perkembangan yang ada di Turki memperlihatkan bahwa negara ini ingin mengikuti budaya, peradaban, dan sistem Barat walau 95 persen negaranya berada di Asia. Namun pada artikel kali ini akan dibahas mengenai tradisi Turkish Tea serta maksud dari hal tersebut dalam masyarakat Turki. idn play

“Percakapan tanpa teh bagaikan langit malam tanpa bulan”

Turkish Tea: Sebuah Simbol Pertemanan dari Masyarakat Turki

Pepatah dari Turki tersebut nampaknya menunjukkan kecintaan masyarakat Turki terhadap teh. Hal ini terlihat dari tingkat konsumsi teh pada masyarakat Turki yang cukup tinggi, yakni sekitar seribu cangkir per tahunnya. Ya, meski teh baru populer di Turki pada tahun 1900an, namun minuman ini mampu memikat hati dan lidah masyarakatnya. Tak hanya itu, teh juga dianggap sebagai pengalaman personal dan simbol pertemanan. taruhan bola

Selain dinikmati di rumah, teh juga kerap disajikan di berbagai kedai teh yang ada di penjuru negeri. Bisa dibilang, kedai teh ini dapat dengan mudah ditemukan di seluruh kota yang ada di Turki. americandreamdrivein.com

Sama halnya dengan coffee shop, tea house atau kedai teh juga berfungsi sebagai tempat berkumpul dan bercengkrama bersama teman atau keluarga. Beberapa penggemar berat teh di Turki bahkan rela mengunjungi kedai teh agar dapat menikmati sajian teh dengan konsep free refill, yang memperbolehkan mereka untuk mengisi kembali cangkir teh yang sudah kosong atau habis.

Tampaknya, masyarakat Turki memang menyukai kuliner yang bercita rasa kuat. Tak hanya kopinya yang pekat dan kuat, sajian teh khas Turki atau yang biasa disebt dengan Turkish Tea ini juga memiliki cita rasa yang kuat, apalagi jenis teh yang kerap disajikan merupakan teh hitam atau black tea. Karena rasanya yang kuat itulah, Turkish Tea tidak disajikan dalam cangkir berukuran besar, melainkan cangkir mungil yang biasanya berbentuk seperti bunga tulip.

Turkish Tea sendiri diminum tanpa menggunakan gula atau susu. Bukan tanpa alasan, minuman ini sering disajikan bersama Baklava, yakni hidangan penutup khas Turki dengan cita rasa sangat manis. Karenanya, Turkish Tea yang dinikmati tanpa gula tersebut akan meminimalisir rasa manis dari Baklava, mengingat cita rasanya yang sedikit pahit. Kendati demikian, beberapa orang biasanya juga menambahkan dua buah gula kubus atau lemon saat menyesap Turkish Tea agar rasanya semakin nikmat.

Menariknya, masyarakat Turki juga memiliki kebiasaan untuk menikmati Turkish Tea pada siang dan sore hari, hampir sama seperti masyarakat Inggris dengan tradisi jamuan minum teh mereka. Bani, Supervisor dari Istanbul Turkey Restaurant & Lounge, salah satu restoran Turki di Jakarta menjelaskan, Turkish Tea ini memang disajikan untuk menemani berbagai kudapan manis khas Turki.

“Masyarakat Turki biasanya menikmati teh mereka di siang dan sore hari, kalau di pagi hari, mereka cenderung mengonsumsi kopi Turki yang dipadukan dengan roti atau Muhamara,” jelasnya kepada salah satu media berita.

Tak hanya itu, seperti dilansir dari salah satu media berita di Turki, terdapat budaya untuk menyimpan persediaan teh dan memastikannya tidak habis untuk dijadikan sebagai jamuan saat ada tamu berkunjung. Dan, saat kita merasa sudah cukup dengan jamuan teh yang diberikan oleh pemilik rumah, kita bisa meletakkan sendok di atas cangkir teh sebagai isyarat bahwa kita sudah kenyang dan puas menyesap teh yang disuguhkan.

Selain rasanya yang nikmat, Turkish Tea juga mengandung berbagai manfaat yang baik bagi kesehatan tubuh. Teh hitam yang digunakan sebagai bahan utama pembuatan Turkish Tea diklaim mampu membantu mengatur pembuluh darah dan jantung, sehingga mengurangi risiko terjadinya penyakit jantung dan stroke. Selain itu, kandungan flavonoid pada teh hitam juga dapat menstabilkan metabolisme dan mengurangi kolesterol serta risiko penyakit diabetes.

Cara Menyeduh :

Turkish Tea: Sebuah Simbol Pertemanan dari Masyarakat Turki

Cara menyeduhnya pun unik. Sebuah teko dua tingkat berisi air dipanaskan. Teko bagian bawah berisi air, sementara teko bagian atas berisi serbuk teh yang telah diseduh air mendidih. Seduhan ini murni berisi teh tanpa gula. Cara menikmatinya, tuang seduhan teh dengan tingkat kekentalan yang dikehendaki (biasanya setengah gelas atau kurang), barulah dikucuri air dari teko bagian bawah untuk mengencerkan seduhan teh. Gula (dalam bahasa Turki disebut şeker) ditambahkan belakangan sesuai tingkat kemanisan yang diinginkan.

Cara penyeduhan ini, memungkinkan semua penikmatnya akan mendapatkan minuman teh sesuai selera masing-masing. Akan berbeda ceritanya dengan cara menyeduh ‘ready to drink’ ala masyarakat tanah air. Disini, mau teh yang bening, kental, manis dan tanpa gula bisa dinikmati dalam sekali hidang. Bagian yang paling mencengangkan adalah jumlah teh yang bisa mereka minum. Awal-awal kedatangan saya sebagai gelin (pengantin) nyaris setiap malam saya diajak keliling mengunjungi kerabat suami dan dipastikan teh menjadi minuman wajib. Saya benar-benar dibuat terpana dengan banyaknya teh yang bisa mereka minum dalam sekali duduk. Bergelas-gelas. Bahkan saya pernah membaca sebuah tulisan, masyaraat Turki paling tidak dalam sehari akan minum 25 gelas teh! Paling sedikit itu. Wow!

Karena itu, ‘nyonya rumah’ harus selalu berjaga memastikan stok seduhan teh tersedia. Apalagi masyarakat Turki saat bertamu bisa hingga lewat malam hingga  nyaris dini hari. Dan tentunya dibutuhkan stok seduhan teh yang cukup saat para suami masih terlihat asyik ngobrol. Nyonya rumah harus jeli memperhatikan gelas-gelas yang kosong dan dengan segera menuang lagi seduhan teh selanjutnya dan selanjutnya. Ibu mertua bilang, menjadi sebuah aib saat gelas teh sudah kosong dan menjadi dingin karena lama ‘menunggu’ untuk dituang teh berikutnya.

Inovasi Teh Turki :

Salah satu sudut Istiqlal Street, Taksim Square -Istanbul, terdapat toko oleh-oleh. Jual aneka kudapan irisan buah kering. Nah, menariknya. Sebagian besar stand didominasi teh. Jangan heran. Macam-macam varian. Semuanya teh curah. Yellow rose tea. Orange tea. Jungle fruit tea. Apple cinnamon tea.

Mereka pun menjual teh kemasan. Berat isinya 100 gram. Red apple tea. Green aple tea. Black tea. Turkish tea. Packingnya kertas. Teh Turki sarat inovasi. Teh Turki sangat populer.

Ketua Asosiasi Kedai Minum di Turki, Serdar Ersahin menyebutkan. Orang Turki rata-rata mengkonsumsi 1300 cangkir teh setiap tahunnya. Bangsa Turki merupakan negara dengan tingkat konsumsi teh teratas di dunia.

Menurut catatan. Masyarakat Turki mengkonsumsi sekitar 3-5 cangkir teh setiap hari. Jumlah tersebut akan meningkat 10 cangkir bilang selama musim dingin. Cuaca dingin seperti sekarang mengatrol penjualan teh.

“Budaya minum teh sangat diperlukan bagi orang Turki karena ini adalah kesempatan untuk duduk dan berbicara,” tutur Ersahin seperti dilansir Anadolu Agency.

Dibandingkan dengan negara-negara lain, cara membuat teh di Turki sangat berbeda. Di Turki perlu waktu 20 menit untuk menyeduh teh sebelum disajikan. Kios-kios teh menjadi bagian sejarah. Kios teh merupakan tempat sosialisasi masyarakat. Tempat blusukan pejabat setempat.

Selain para penjual yang berada di kios-kios, keuntungan besar diperoleh produsen teh Turki. Pendapatannya, menurut data Asosiasi Eksportir, mencapai lebih dari 4,5 juta dolar setelah mengekspor ke 93 negara. Itu terjadi pada semester pertama tahun lalu. Jerman, Amerika dan Siprus, negara paling tinggi mendatangkan teh Turki.

Continue Reading

Share

Menjajaki Kehidupan Masyarakat Xinjiang di Museum Etnik

Menjajaki Kehidupan Masyarakat Xinjiang di Museum Etnik – Bagaikan melintasi lorong waktu, itulah yang mungkin akan dirasakan para pengunjung ketika bertandang ke Museum Xinjiang di Kota Urumqi yang berisi koleksi relik dan artefak tentang sejarah provinsi China di barat jauh tersebut.

Dengan total koleksi yang berjumlah 40.000 buah (bervariasi mulai dari artefak, relik hingga spesimen), museum yang berembrio sejak tahun 1959 itu, menyajikan para pengunjung mengenai sejarah ‘Wilayah Barat China kuno’ hingga bagaimana area itu menjadi ‘Provinsi Xinjiang’ dewasa ini. idnplay

Menjajaki Kehidupan Masyarakat Xinjiang di Museum Etnik

Xinjiang kuno, atau yang dikenal sebagai wilayah Barat, merupakan bagian dari Jalur Sutra masa lampau. Wilayah itu telah menjadi titik berkumpul dan bercampurnya berbagai kelompok etnis. judi bola

Menurut dari berbagai penemuan arkeologis yang tersaji di museum, tanda-tanda peradaban manusia pertama di Xinjiang ada pada masa Paleolitik sekitr 50.000 tahun yang lalu https://americandreamdrivein.com/

Mewah, megah dan rapi. Tiga kata tersebut menggambarkan museum etnik Xinjiang yang ada di pusat kota Urumqi.

Pada suatu ketika berbagai awak media dari puluhan negara lainnya berkesempatan untuk mengunjungi bangunan modern dan bersejarah itu.

Wilayah Barat kuno mulanya hanya dihuni oleh suku-suku lokal. Akantetapi kemudian, mereka bercampur dengan etnis dari Asia Barat, Eropa Tengah dan Asia Timur yang melintasi area itu ketika jalur sutra kuno dibuka oleh Dinasti Han.

Dinasti kemudian mengkooptasi Wilayah Barat sepenuhnya dengan mendirikan Kantor Militer Wilayah Barat yang dikepalai oleh seorang jenderal, yang sekaligus menjadi perpanjangan tangan kaisar untuk memimpin area tersebut.

“Percampuran berbagai kelompok etnis, posisinya sebagai hub penting jalur sutra kuno, dan kontribusi Dinasti Han, menjadikan Wilayah Barat sebagai bagian penting dalam perkembangan kebudayaan dan peradaban China,” kata seorang pemandu museum melalui penerjemah kepada sejumlah wartawan Indonesia, Jumat 22 Februari 2019.

Sesudah melalui gejolak domestik dan invasi Bangsa Mongol, Dinasti Qing berhasil meredam berbagai gejolak di wilayah itu, hingga akhirnya pada 1884, kekaisaran mendirikan Provinsi Xinjiang –cyang nantinya adalah cikal bakal dari Wilayah Otonomi Xinjiang-Uighur dewasa ini.

Museum itu terdiri dari 4 lantai.  Bangunannya tak seperti museum pada umumnya. Anda yang tinggal di Indonesia mungkin jika ditanya apa kesanmu terhadap museum maka Anda akan menjawab: bangunan tua, barang-barang antik dan bukan kawasan yang tepat untuk tempat nongkrong anak muda.

Tapi di Urumqi berbeda. Di hari libur tengah hari itu ternyata banyak muda-mudi yang mengunjungi museum itu.  Bahkan tak sedikit di antara mereka yang berpasangan.

Anak-anak pun demikian. Banyak anak-anak seumur 8-12 tahun yang berbondong-bondong menuju museum itu.  Ada yang sekadar jalan-jalan,  ada yang mengggambar sesuatu dan ada yang sekadar hanya berlarian sambil tertawa

Museum ini ibarat Taman Mini Indonesia Indah (TMII)-nya Indonesia. Kita bisa melihat kehidupan masyarakat Xinjiang yang multietnis lewat museum ini.

Seperti yang dijelaskan dalam artikel-artikel sebelumnya,  di Xinjiang ada beberapa etnis yang hidup: Uighur,  China,  Kazakh dan Mongolia. Kehidupan mereka secara lengkap tersaji di sini.

Di lantai pertama kita akan melihat bagaimana masyarakat Uighur salah satu bagian terbesar kelompok etnis di Xinjiang hidup. Selama berkeliling rombongan disuguhkan dengan beragam alat kehidupan sehari-hari yang biasa mereka gunakan seperti: pakaian,  alat rumah tangga,  topi dan sebagainya.

Ada juga ditampilkan replika makanan khas dan diorama tentang kehidupan mereka sehari-hari.  Tak ketinggalan ada patung-patung lilin yang dibuat sangat mirip untuk menggambarkan budaya mereka. 

Ditampilkan pula bagaimana mereka menjalani budaya lokal dari mulai perayaan pernikahan,  kelahiran hingga kematian. Di antara salah satu budayanya adalah saat menyambut kelahiran seorang anak. 

Untuk masyarakat Uighur,  layaknya di Indonesia,  mereka punya upacara untuk kelahiran jabang bayi. Ada juga tradisi potong rambut ketika usia bayi menginjak 7 bulan. Semua tergambar dalam patung lilin di museum tersebut.

Berikutnya, kami menuju spot kehidupan masyarakat Kazakh. Di sana, dari patung lilin yang ditampilkan,  kita bisa melihat pekerjaan utama mereka yakni bertani dan berternak.

Lain lagi dengan masyarakat etnis Mongol. Pakaian-pakaian yang mereka kenakan sehari-hari adalah layaknya pakaian khas China, lengkap dengan topi khasnya.

Ada juga tradisi ‘perang’ di etnis Mongol layaknya gladiator di Yunani sana. Semua tergambar dari patung lilin yang betul-betul mirip aslinya.

Soal kehidupan Kazakh juga tergambar jelas di sini.  Mereka yang hidup dekat Tibet ini kebanyakan berprofesi petani.

Wajah laki-laki dan perempuan di patung lilin digambarkan mancung-mancung serta berkulit putih. Ada juga di antara mereka yang berternak sapi ataupun domba.

Dari museum ini kita belajar kehidupan di Xinjiang yang megah namun tetap khas. Pemandu mengatakan pemerintah setempat sangat serius dalam melakukan perawatan di museum ini.

“Mereka pun dengan rutin memberikan dana dan barang-barang di sini semuanya tak ada yang rusak. ” Ya begitulah Museum etnik di Xinjiang.

Asal Muasal Uighur di Xinjiang :

Menjajaki Kehidupan Masyarakat Xinjiang di Museum Etnik

Riwayat mengenai Uighur modern di Xinjiang bisa tercatat sejak tahun 630 – 684 masehi, saat sebuah catatan Dinasti Tang menuliskan kata “Huihe” yang merujuk pada sekelompok suku yang tinggal di basin Tarim di Wilayah Barat (Xinjiang dewasa ini).

Museum Xinjiang merujuk catatan itu sebagai cikal-bakal etnis Uighur modern –menggambarkan mereka sebagai kelompok endemik dan bagian dari perkembangan peradaban dan kebudayaan China.

Akantetapi, asal muasal kelompok yang menetap di basin Tarim itu masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan dan arkeolog. Sejumlah catatan menunjukkan bahwa kelompok itu adalah etnis Turki yang bermigrasi dan menetap di basin Tarim. Sementara catatan lain menunjukkan mereka berasal dari Mongolia atau Eropa Tengah.

Beberapa uji DNA juga menunjukkan bahwa nenek moyang Uighur memiliki gen campuran Asia Timur dan Kaukakus.

Penyebutan Huihe untuk orang-orang yang menetap di Wilayah Barat pun sempat hilang hingga kemunculannya kembali pada Abad ke-19 dalam catatan Uni Soviet. Catatan itu menyebut tentang “Uyghur Khaganate” (kekaisaran Uighur), yang merupakan konfederasi suku-suku Turk (orang Turki) yang mendiami wilayah Asia Tengah bagian utara.

Namun, dalam penggunaan modern-nya, penyebutan “Uyghur” yang digunakan pada catatan Soviet itu merujuk pada ‘orang-orang Turki’ yang mendiami Provinsi Xinjiang yang didirikan pada era Dinasti Qing.

Definisi itu kemudian diakui oleh Uighur sendiri sebagai identitas etnisitas mereka dalam sebuh konferensi di Tashkent pada 1921 yang dihadiri oleh ‘orang-orang Turki’ di basin Tarim (Xinjiang) — demikian seperti dikutip dari ‘Situating the Uyghurs between China and Central Asia’ yang ditulis oleh associate professor Ildiko Beller-Hann.

Berikut Merupakan Komentar Resmi China Soal Kontroversi Muslim Uighur :

China mempertegas bahwa permasalahan di Xinjiang bukan soal agama melainkan separatisme. Pendapat dari Duta Besar China untuk Indonesia Xiao Qian, pemerintah murni memerangi aksi radikalisme dan terorisme.

Hal ini dikatakan saat menemui Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Ia meluruskan pemberitaan soal dugaan persekusi dan diskriminasi etnis Muslim Uighur yang dituding sebagian pihak ke negara panda itu.

Beliau bahkan mempersilakan masyarakat Indonesia untuk melihat langsung kondisi muslim di Uighur China. “Silakan jika ingin berkunjung, beribadah, dan bertemu dengan masyarakat muslim Uighur,” katanya sebagaimana dikutip dari keterangan pers tersebut.

Continue Reading

Share